SHENZEN
SEJARAH
Kota Shenzhen merupakan salah satu kota metropolitan di Provinsi
Guangdong,China. Menurut Sejarahnya, Kota Shenzhen hanyalah desa nelayan yang
biasa bahkan termasuk desa miskin pada tahun 1970, namun Kota Shenzhen kini
menjadi kota yang luar biasa. Sejarah Kota Shenzen dimulai tahun 1979. Saat
itu, pemerintah pusat di Cina merasa perlu memiliki sebuah kota yang mampu
menyaingi popularitas Hongkong, pusat ekonomi Pasifik ketika itu. Terpilihlah
Shenzhen yang memang tak jauh dari Hongkong, hanya 1 jam perjalanan. Sejak itu,
Shenzhen menjadi Zona Ekonomi eksklusif. Setelah itu muncullah ribuan pabrik
berbasis teknologi di Shenzhen. Konka, produsen elektronik yang terus menyerbu
dunia, berpusat di Shenzhen. Demikian pula ZTE, pemain no 6 besar dunia pada
industri handset, memilih markas besar di Shenzhen. TCL, yang produknya banyak
membanjiri Indonesia, juga berkantor pusat di Shenzhen. Dalam catatan,
sedikitnya ada 300.000 industri yang memusatkan kegiatan produksinya di
Shenzhen. Umumnya perusahaan berbasis teknologi. Karena itu, tak berlebihan
jika menyebut Shenzhen sebagai ibukota teknologi China. Daya tarik Shenzhen
juga membuat IBM, perusahaan komputer kelas dunia memindahkan kantor pusat
procurementnya untuk seluruh dunia dari New York (AS) ke Shenzhen.
Magnet ini kian komplet, ketika industri-industri lainnya pun ikut hadir di Shenzhen, terutama industri otomotif. Di Shenzhen lebih mudah menjumpai mobil mewah daripada di Jakarta. Para pabrikan mobil mahal seolah datang untuk memenuhi kebutuhan warga Shenzhen yang sudah mampu membeli mobil berkelas. Sebagai kota baru, Shenzen benar-benar luar biasa. Jika dibandingkan dengan Jakarta, dari sisi jumlah gedung pencakar langit, Shenzhen jauh melampaui Jakarta. Di Shenzhen gedung-gedung tinggi jaraknya sangat rapat, berbeda dengan Jakarta yang hanya terkumpul di Kawasan Segitiga Emas, Sudirman, Gatot Subroto, Thamrin, Kuningan. Jalan-jalan layang seperti tak bisa lagi dihitung. Jalannya lebar namun relatif lancar. Mobil-mobil yang berseliweran didominasi mobil-mobil Eropa kelas mahal. Hotel-hotel di Shenzhen dipenuhi hotel kelas internasional. Ada Kempinski, Sheraton, Shangri-La sampai Ritz Carlton Hotel. Hanya sayang, segala infrastuktur yang demikian bagus tersebut nampaknya belum diimbangi dengan perubahan kultur warga Shenzen. Di jalanan, masih banyak pengemudi yang ugal-ugalan, sementara area publik seperti toilet umum, banyak tidak terawat. Di sentra-sentra belanja, juga banyak pengemis yang mengikuti ke mana saja wisatawan pergi. Masalah kultur pula yang membuat Shenzen belum menunjukkan degup sebagai kota metropolis. Dengan populasi 12 juta, 4 juta di antaranya tinggal di dalam kota, Shenzen sebagai kota besar praktis terkesan senyap. Pusat-pusat hiburan belum segemerlap seperti di Shanghai. Mungkin masih perlu waktu bagi Shenzen untuk menjadi kota semegah dan seberbudaya seperti Singapura.
Magnet ini kian komplet, ketika industri-industri lainnya pun ikut hadir di Shenzhen, terutama industri otomotif. Di Shenzhen lebih mudah menjumpai mobil mewah daripada di Jakarta. Para pabrikan mobil mahal seolah datang untuk memenuhi kebutuhan warga Shenzhen yang sudah mampu membeli mobil berkelas. Sebagai kota baru, Shenzen benar-benar luar biasa. Jika dibandingkan dengan Jakarta, dari sisi jumlah gedung pencakar langit, Shenzhen jauh melampaui Jakarta. Di Shenzhen gedung-gedung tinggi jaraknya sangat rapat, berbeda dengan Jakarta yang hanya terkumpul di Kawasan Segitiga Emas, Sudirman, Gatot Subroto, Thamrin, Kuningan. Jalan-jalan layang seperti tak bisa lagi dihitung. Jalannya lebar namun relatif lancar. Mobil-mobil yang berseliweran didominasi mobil-mobil Eropa kelas mahal. Hotel-hotel di Shenzhen dipenuhi hotel kelas internasional. Ada Kempinski, Sheraton, Shangri-La sampai Ritz Carlton Hotel. Hanya sayang, segala infrastuktur yang demikian bagus tersebut nampaknya belum diimbangi dengan perubahan kultur warga Shenzen. Di jalanan, masih banyak pengemudi yang ugal-ugalan, sementara area publik seperti toilet umum, banyak tidak terawat. Di sentra-sentra belanja, juga banyak pengemis yang mengikuti ke mana saja wisatawan pergi. Masalah kultur pula yang membuat Shenzen belum menunjukkan degup sebagai kota metropolis. Dengan populasi 12 juta, 4 juta di antaranya tinggal di dalam kota, Shenzen sebagai kota besar praktis terkesan senyap. Pusat-pusat hiburan belum segemerlap seperti di Shanghai. Mungkin masih perlu waktu bagi Shenzen untuk menjadi kota semegah dan seberbudaya seperti Singapura.
Perkembangan Kota
Kota ini tertata rapih, penuh bunga dan dihiasi gedung-gedung modern
sebagai landmark. Meskipun disiapkan sebagai kota dagang, Shenzhen juga
dikenal sebagai kota yang memperhatikan lingkungan. Sejumlah penghargaan
lingkungan diraihnya, seperti UN-Habitat Award, Global Garden City Award,
National Award for Enviromental Protection dan sejumlah penghargaan lingkungan
lainnya. Untuk mengingatkan perjuangan mendirikan kota yang indah ini,
pemerintah mendirikan Museum Shenzhen. Di sini dikisahkan bagaimana Bapak
Pembaharuan China Deng Xiaoping memutuskan untuk membuka China kepada dunia.
Sebagai tahap awal maka dibangunlah Shenzhen sebagai daerah ekonomi khusus,
sekaligus untuk "menyaingi" Hongkong yang berbatasan sungai
dengannya.
Perkembangan Arsitektur
Di dalam museum terdapat sejumlah diorama perjuangan tentara dan rakyat
sekitar China membangun kota itu. Pembangunan dimulai dengan membuat perbatasan
kota, membangun jalan, terowongan, mendirikan gedung hingga barang-barang
ekonomi (produk industri) yang dihasilkan kota ini. Dipajang juga patung
perunggu Deng yang memegang sekop sebagai perlambang dibangunnya kota Shenzhen.
Banyak turis berpose di sini, bergaya memegang sekop Deng, seakan turut
"membangun" Shenzhen. Museum juga memajang tempat tidur, perangkat
mebel yang dulu digunakan Deng ketika menginap di sebuah hotel saat mengunjungi
Shenzhen, beberapa tahun setelah dibangun. Suasana hening museum, tiba-tiba
berubah gaduh. Serombongan murid SD usia 8-9 tahun berteriak gembira memasuki
museum. Mereka mengenakan rompi merah (warna resmi China), memegang pulpen dan
kertas. Anak-anak itu berebut melihat isi museum dan tertawa saat bertemu
dengan rombongan wartawan dari mancanegara, termasuk dari Afrika dan anak benua
India (India, Pakistan, Bangladehs, Nepal, Afganistan dan Srilangka). Keduanya
jadi saling membutuhkan. Sebagai wartawan, mereka berebut memfoto anak-anak,
sebagai anak-anak mereka berebut minta tandatangan. Suasana museum berubah
ceria.